Senin, 06 Juni 2011

Jakarta Mustahil Jadi Pusat Gempa

Jakarta diprediksikan tidak mungkin menjadi pusat gempa. Hal tersebut terungkap dalam konferensi pers yang diadakan di Crisis Center, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta, Rabu (1/6/2011) hari ini.

"Sampai sekarang belum ditemukan adanya pusat gempa di Jakarta. Dari data dan analisis kami sekarang, tidak mungkin Jakarta diguncang gempa 8,7 skala richter. Kalau Jakarta dipengaruhi oleh gempa sebesar 8,7 skala richter di wilayah lain, itu mungkin," kata Deputi Bidang Geofisika Dr. P.J. Prih Rahardi. Konferensi pers ini diadakan untuk merespon isu akan terjadinya gempa bermagnitud 8,7 di Jakarta yang sempat beredar beberapa waktu lalu.

Menurut Prih, ada beberapa patahan yang mungkin mempengaruhi Jakarta. Beberapa patahan itu adalah megathrust di Selat Sunda, patahan Kemuring, patahan Semangko, patahan Cimandiri, patahan Sunda, dan patahan Lembang. Gempa yang terjadi akibat patahan itu akan mengakibatkan goncangan dengan skala berbeda.

Prih mengungkapkan, beberapa skenario telah dianalisis terkait dengan dampak aktivitas seismik pada tiap patahan pada goncangan di Jakarta. Analisis ini dilakukan dengan software ShakeMap sehingga diketahui goncangan dalam MMI (Modified Mercalli Intensity). MMI mengukur skala goncangan dari 1 hingga 12.

"Dari analisa, kalau gempa berkekuatan 8,7 skala richter terjadi (sumbernya dari aktivitas seismik Selat Sunda), maka Jakarta akan menerima goncangan sekitar 6 - 7 MMI. Kalau sumbernya di Kemuring, potensi gempanya 7,6, maka goncangannya di Jakarta lebih rendah, sekitar 4 MMI," urai Prih.

Adapun patahan Semangko yang berpotensi gempa 7,2 skala richter bisa mengakibatkan goncangan 4 MMI. Sementara patahan Cimandiri yang berpotensi gempa 7,2 dan patahan Lembang yang berpotensi gempa 6,8 bisa menyebabkan goncangan 5 MMI. Patahan Sunda berpotensi gempa 7,6 bisa mengakibatkan goncangan 4 - 5 MMI.

Lalu apa yang akan terjadi di Jakarta ketika misalnya mengalami goncangan 7 MMI? Prih mengungkapkan, "7 MMI sudah cukup besar. Kalau sebesar itu bangunan yang jelek sudah retak-retak dan kalau bangunan bagus plesternya mungkin lepas. Tapi, kalau bangunan bagus nggak akan terjadi apa-apa, nggak akan runtuh."

Sebagai tindak lanjut pada goncangan yang bisa terjadi di Jakarta akibat gempa bumi di sumber lain, BMKG, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Pemda DKI berencana untuk bekerjasama melakukan monitoring gempa-gempa mikro dan pembuatan mikrozonasi di Jakarta sehingga resiko bencana bisa diminimalkan.

"Kita akan lakukan pengeboran untuk pasang seismometer. Yang dalam ada 4 kalau yang dangkal ada ratusan. BMKG akan buat 1 yang akan ditaruh di Akademi Meteorologi dan Geofisika di Bintaro," kata Prih. Dengan memasang seismometer, maka akan diketahui apakah ada aktivitas gempa di Jakarta sebab dengan pengeboran dalam, sesnitifitasnya akan lebih tinggi.

Prih mengatakan, pengeboran BMKG akan dilakukan tahun ini sementara yang lain akan menyusul. Lebih lanjut, Prih mengatakan bahwa gempa bumi hingga saat ini belum bisa diprediksikan kapan terjadinya. "Jadi kalau ada yang menyatakan waktunya, itu cuma isu," tandasnya.

Kembaran Bimasakti dari Konstelasi Pavo

European Southern Observatory (ESO) merilis citra galaksi yang tampak seperti kembaran Bimasakti. Galaksi itu bernama NGC 6744, berjarak 30 juta tahun cahaya, dan terletak di konstelasi Pavo atau Peacock. Citra galaksi berhasil diambil dengan teleskop 2,2 meter di Observatorium La Silla, Cile.

NGC 6744 memiliki kemiripan dengan Bimasakti. Berdasarkan rilis ESO yang dikutip Space.com, Rabu (1/6/2011), galaksi ini juga mempunyai "lengan" spiral yang "membungkus" inti padat memanjang dan piringan berdebu. Galaksi ini juga memiliki "teman dekat" yang lebih kecil, yakni NGC 6744 A, seperti Bimasakti yang juga punya Awan Magellan Besar.

NGC 6744 memiliki ukuran diameter dua kali lipat Bimasakti, sementara Bimasakti sendiri berdiameter sekitar 100.000 tahun cahaya. Bila melihat citra NGC 6744 yang ditangkap ESO, terdapat spot-spot berwarna merah di bagian lengan spiral. Astronom mengatakan bahwa wilayah itu merupakan tempat kelahiran bintang.

Astronom juga mengatakan, letak galaksi ini tergolong dekat. Didukung dengan kecemerlangannya yang setara dengan 60 kali Matahari dan posisinya yang seolah menatap Bumi, astronom amatir bermodal teleskop power rendah pun bisa melihatnya. NGC 6744 akan tampak seperti lingkaran dengan bagian terang berukuran dua kali Bulan.

Bintang Kesepian di Awan Magellan Besar

Menggunakan very large telescope (VLT) di Cile, astronom berhasil menemukan bintang bernama VFTS 682 di Tarantula Nebula, Awan Magellan Besar, galaksi kecil yang bertetangga dengan galaksi kita Bimasakti. Bintang itu serba lebih dibanding Matahari, memiliki massa 150 kali lebih besar dari Matahari dan 3 juta kali lebih cemerlang dari Matahari.

Namun, VFTS 682 tak seperti bintang seukurannya yang biasanya ditemukan di gugus bintang yang padat. VFTS 682 yang merupakan salah satu bintang paling terang yang pernah ditemukan dan memiliki suhu permukaan hingga 50.000 derajat celsius ini rupanya merupakan bintang kesepian.

Seperti dikutip Astronomy Now, Kamis (26/5/2011), Joachim Bestenlehner dari Observatorium Armagh di Irlandia Utara yang memimpin penelitian ini mengatakan, "Kami sangat terkejut menemukan bahwa bintang sebesar itu ternyata sendirian, bukan terletak di gugusan bintang yang padat." Hingga kini, menurut Bestenlehner, asal-usul bintang itu masih misterius.

Karena letak Tarantula Nebula berdekatan dengan wilayah pembentukan bintang dan VFTS 682 dekat dengan gugus R136, maka astronom menduga bahwa VFTS 682 mulanya tak sendirian. Menurut astronom, VFTS 682 mungkin terbentuk di gugus R136 dan selanjutnya terlontar keluar hingga ada dalam kesendirian.

Penjelasan tersebut mungkin menjadi jawaban teka-teki asal-usul VFTS 682. Tetapi, jikalau hal itu benar, satu pertanyaan lagi muncul. Energi macam apa yang bisa melontarkan bintang sebesar VFTS 682 dari gugusnya? Yang pasti, penemuan ini akan menantang pemahaman tentang bintang masif yang berkembang kini. Penemuan ini dipublikasikan di jurnal Astronomy & Astrophysics.

Udang Raksasa Panjangnya 1 Meter

Fosil predator yang mirip udang dengan panjang 1 meter ditemukan di sebelah tenggara Maroko. Hewan tersebut memiliki ukuran terbesar di jenisnya dan diperkirakan mendominasi laut pada zaman pra-dinosaurus selama jutaan tahun.

Hewan yang disebut Anomalocaridid itu mirip seperti udang dan sotong. Salah satu bagian di kepalanya menonjol dan melingkar. Mulut mereka berlapis serta membuka dan menutup seperti diafragma kamera.

Anomalocaridid terbesar sebelum temuan ini berukuran 0,6 meter. Ukuran yang seperti itu saja sudah membuatnya hewan terbesar dalam periode Cambria (542 hingga 501 juta tahun yang lalu), saat invertebrata banyak berevolusi menjadi berbagai hal.

Selain ukuran, hal lain yang mengejutkan dari penemuan ini adalah usia fosil yang terbilang muda, diperkirakan berumur 488 hingga 472 tahun yang lalu. "Hewan ini ternyata bertahan hidup 30 tahun lebih lama dari yang diperkirakan," kata Derek Briggs, Direktur Yale Peabody Museum, yang turut serta pada studi.

Anomalocaridid menyebar luas pada saat periode Cambria, tetapi mulai tidak ditemukan pada era 510 juta tahun yang lalu. "Apa mereka punah atau kita mencari di tempat yang salah?" kata Briggs belum bisa menjawab misterinya. Ternyata, jaringan lembut rusak sebelum terbentuk fosil. Khusus untuk fosil yang ditemukan di Maroko ini, ilmuwan beruntung karena endapan di sekitarnya membuat hewan terawetkan.

Anomalocaridid akhirnya memang punah dan tidak menghasilkan keturunan modern. "Digantikan ikan dan predator laut lain," kata Briggs menjelaskan.

Kelelawar Hilang, Buah Pun Bisa Lenyap

Kelelawar adalah salah satu hewan yang berperan dalam penyerbukan pohon yang menghasilkan buah. Maka dari itu, kalau populasi kelelawar menyusut bahkan punah, maka buah-buah yang penyerbukannya tergantung padanya pun bisa lenyap. Demikian salah satu hal yang mengemuka dalam Konferensi Internasional Kelelawar Asia Tenggara ke-2 yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Senin ini hingga Rabu (9/6/2011) di Bogor.

Konferensi yang diikuti ilmuwan dari 20 negara ini mengangkat tema "Zoonosis dan Peran Kelelawar dalam Keseimbangan Ekosistem." Beberapa ilmuwan kelelawar yang hadir antara lain Tigga Kingston dari Texas Tech University dan Paula Racey dari University of Exeter. Sementara itu, dari Indonesia hadir Dr Siti Nuramaliati Prijono dan Dr Ibnu Maryanto dari Pusat Penelitian Biologi LIPI. Beberapa di antara mereka memaparkan hasil penelitiannya.

Menggarisbawahi tema konferensi, Siti mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian, 186 spesies tumbuhan obat, penghasil kayu, dan sumber makanan tergantung pada kelelawar jenis Megachiroptera. "Kelompok jenis ini adalah pemakan buah tropikal hutan dan membuang sepah bijinya jauh dari lokasi tumbuhan. Oleh karenanya, ia dijuluki agen pemencar biji," urai Siti.

Ibnu juga menambahkan bahwa 52 jenis tumbuhan di Kebun Raya Bogor bergantung pada kelelawar. Kelelawar, masih menurut Ibnu, juga berperan dalam penyerbukan pohon yang menghasilkan buah, seperti duku, rambutan, dan durian. "Kalau kelelawar hilang, buah pun bisa lenyap," ungkapnya.

Kelelawar juga berperan dalam pengendalian populasi serangga. "Tiap jam, kelelawar itu bisa makan 6.000 nyamuk," cetus Ibnu. Dengan demikian, kelelawar juga berperan dalam pengendalian wabah penyakit seperti malaria.

Siti menambahkan, "Kelelawar berfungsi sebagai predator alami hama pertanian dan salah satu pemakan hama utama padi."

Diakui, kelelawar pun bisa membawa penyakit zoonosis, seperti rabies, hendra, dan nipah yang membunuh 40 persen manusia yang terjangkiti. Namun, Ibnu mengatakan, "Kelelawar hanya sebagai pembawa, bukan penyebab penyakit." Penyakit nipah yang disebabkan oleh virus kali pertama ditemukan di Malaysia dan telah membunuh 105 manusia.

Saat ini, Indonesia memiliki 225 spesies kelelawar. Ibnu mengatakan, 150 di antaranya merupakan spesies pemakan serangga dan 75 lainnya merupakan spesies pemakan buah. Indonesia diketahui memiliki 11 persen dari total spesies yang ada di dunia. Sebanyak 10 spesies masih mungkin ditemukan per tahunnya jika eksplorasi dilakukan secara intensif.

Meski demikian, kelelawar kini menghadapi tekanan yang besar. Ini diakibatkan oleh aktivitas perusakan kawasan karst tempat gua habitat kelelawar. Beberapa jenis kelelawar, seperti Otomops johnstonoi yang endemis di wilayah Alor dan Neopterus trostii yang endemis wilayah Sulawesi, ikut terancam.

Kepala LIPI Prof Dr Lukman Hakim mengatakan, Indonesia sebagai negara mega-keanekaragaman hayati berkewajiban melindungi hal itu, termasuk kelelawar. Ia menyebut, upaya perlindungan bisa dilakukan dengan memanfaatkan kebun raya sebagai wilayah penelitian, konservasi, dan pendidikan.

Sementara itu, Ibnu mengatakan, perlindungan bisa dilakukan dengan melindungi kawasan karst. Menurutnya, dari konferensi ini, ilmuwan akan memberikan rekomendasi bagi pemerintah. "Kelelawar adalah spesies kunci. Kalau tidak ada kelelawar, maka hal itu akan mengganggu keseimbangan ekosistem," ungkapnya. Tentang perlindungan kawasan karst, menurutnya, peraturan pemerintah untuk mengatur hal itu sudah tersedia sehingga kita tinggal melihat pelaksanaannya.